Berikut adalah catatan, hasil diskusi di grup WA Tunas Parenting 7-2.
Selaku moderator, saya menuliskan dengan M, dan peserta dengan P.
M: Saya tertarik dengan
sebuah konsep pendidikan yang berbasis Islam, dimana dalam membagi fase
perkembangan anak dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Usia 0-7 tahun, perlakukan
anak sebagai raja.
2. Usia 7-14 tahun ,
perlakukan anak sebagai tawanan.
3, Usia 14-21 tahun, perlakukan
anak sebagai sahabat.
Pembagian fase tersebut tentu
saja menimbulkan berbagai penafsiran, sesuai pemahaman seseorang.
Mari kita berdiskusi, untuk
berbagi pemikiran, memaknai fase kedua, perlakukan anak sebagai TAWANAN.
Apa yang teman-teman pahami
dan perlakuan seperti apa yang sudah dipraktekkan ke anak-anak dan bagaimana
reaksinya?
Jangan segan berbagi, bisa
jadi apa yang kita sampaikan di sini sangat bermanfaat untuk teman lain dan
menjadi sebab mengalirnya pahala jariah untuk kita.
P1: Mengenai tema hari ini
"konsep pendidikan yang berbasis Islam, dimana fase perkembangan pada anak
usia 7-14 tahun disebutkan memperlakukan anak sebagai tawanan", maaf
ini referensi dari mana ya? Atau ada tidak
buku /sumber yang tertulis dengan pengarangnya, yang membicarakan mengenai
konsep ini? Agar kita bisa punya pegangan, paling tidak bisa membrowsingnya di
mbah google untuk memberi pendapat, ide atau sedikit argumentasi.
M: P1 bisa mencarinya di
google (yang paling gampang, dengan kata kunci:
mendidik ala Ali bin Abi Thalib. Mengapa Ali? Beliau adalah sahabat yang
dididik langsung oleh Rasulullah saw dan mendapat gelaran sebagai gudang ilmu.
P1: Ok , saya sudah
bersahabat dengan Mbah Google he...he , tapi harus ada panduannya, biar nggak
nyasar kemana-mana.
M: Sudah sesuai, kan? Panduan
yang seperti apa? Kalau ke google, panduannya ya kata kunci
P2: Perlakuan anak sebagai
tawanan ini memposisikan anak untuk selalu terpantau atau terjaga bukan, ya Mi?
Di usia tersebut kan anak mengenal lingkungan baru selain keluarga, jadi
anak-anak harus dijaga dari dampak atau pengaruh dari luar. Saya belum punya
anak, tapi punya adik yang kebetulan masih masuk usia ini, bingung sih kadang
kalau over protectif dia malah ngejauh dan menutup jadi nggak terbuka lagi sama
saya.
M: Kalau kita mengacu pada
panduan buku-buku pendidikan Islam, usia 7-14 tahun merupakan waktu melatih dan
menguatkan mereka dalam berkomitmen, yang seharusnya sudah kita kenalkan
masalah kedisiplinan dari fase sebelumnya.
P2: Berarti ini orang tua
juga harus mencontohkan kedisiplinan itu sendiri ya.
M: Itu cara yang paling efektif.
P3: Anak saya usianya 8 setengah
tahun,perempuan, memang nggak suka dirumah,maunya main ke rumah teman-temannya,dan
di tempat saya anak seusia dia nggak yang perempuan, jadi dia lebih sering main
dengan anak-anak yang seusia adiknya,
sekitar 4 5 tahunan. Apa bisa berpengaruhpada kedewasaannya, yang seharusnya usia 8 tahun, tapi masih seperti anak 4 5
tahunan?
M: Sebagai orang tua kita
berusaha jeli melihat peluang untuk menerapkan pendidikan dalam lingkungan
seperti apapun, selama kita belum mampu memberikan lingkungan yang ideal. Kita
harus berfikir, nilai pendidikan apa yang bisa saya berikan dalam situasi
seperti ini?
P3: Saya coba kasih pengertian ke dia jika dia
lebih dewasa dari teman-temannya, saya ajarkan dia untuk bisa menjaga, menjadi
kakak, tapi terkadang memang masih terlalu menjadi anak kecil yang suka rebutan
dengan adiknya.
M: Sangat bisa dimaklumi,
bahkan untuk anak yang mendapatkan lingkungan ideal menurut kita. Mengajarkan
sebuah konsep, tidak bisa hanya dengan sekali penjelasan, langsung anak
mengerti. di sinilah letak kesabaran orang tua yang tak berujung, untuk
mengajarkan sebuah hal, butuh berulang-ulang mengajarkan dan mengingatkannya.
Perlu kita ingat dan tak boleh melupakannya, anak adalah jiwa yang punya
pemikiran dan keinginan sendiri, nah, tugas kita, bagaimana arah jiwa itu
sesuai dengan yang Allah kehendaki.
P4: Alhamdulillah anak
pertama saya usia 10 tahun dan anak ke 2 usia 8,5 th. Yang saya pahami dari
konsep mendidik anak usia 7- 14 th ini yaitu dalam hal mendisiplinkan anak
dengan membuat jadwalnya, ada konsekuensi yang harus diterima anak dari
pendisiplinan ini, dan pada usia ini anak perempuan harus dekat pada ibunya sebab
banyak hal yang harus mereka pelajari dan sebaliknya dengan anak laki-laki,
mereka harus dekat dengan ayahnya. Sudah benarkah pemahaman saya, atau ada yang
harus diluruskan?
M: Membuat jadwal adalah
salah satu teknis dalam menanamkan kedisiplinan, tapi jangan sampai kita
terlalu kaku dalam hal ini. Akan lebih penting bagaimana kita menanamkan
kesadaran pada anak, bahwa mereka butuh untuk memiliki karakter disiplin, dan
itu harus dilatih sejak dini. Hidup disiplin akan mempermudah hidup mereka.
Dengan menanamkan kedisiplinan, anak juga menyadari bahwa mereka tidak bisa
hidup semau-maunya, ada aturan yang harus diikuti, yang semua itu mengarah dan
melatih agar anak akan dengan ringan untuk melaksanakan aturan-aturan Allah.
P5: Mi, usia 9 dan 10 tahun
untul subuh di masjid, sudah mutlak atau masih bisa kita agak longgar?
M: Untuk urusan sholat subuh
di masjid, bahkan sampai anak jenggotan masih sering diingatkan dan dimotivasi
P5: Efektif, kah kalau kita buat
punishment & reward ke anak-anak usia 9 dan 10 tahun, kalau ada rutinitas
harian yang belum sempurna dilakukan & jika tuntas dikerjakan anak-anak? Kalau
menurut Umi reward dan punishment seperti apa yang sesuai ?
M: Untuk masalah reward dan
punishment Umi biasa buat kesepakatan dengan anak, sesuai kemampuannya, karena
intinya ada pada pembiasaan untuk kesadaran.
P6: Saya setuju, mendidik anak
sebagai tawanan, menurut saya di usia
ini anak mulai diperkenalkan tentang hak dan kewajiban. Contohnya,
saya ingat, mulai membantu ibu d waktu SD. Saya dan adik saya berjarak 3
tahun. Pada waktu SD, saya lupa umur berapa, kami sudah dibagi tugas, saya untuk urusan cuci piring, adik saya menyapu. Dan akhirnya, sampai saat
ini kami tetap berbagi tugas dan sudah tau tugas masing masing. Apapun kesibukan
masing masing, tetap kewajiban harus dilaksanakan, malah sering tolong
menolong. Dan itu sangat membantu. Begitu,
pun masalah belajar, kami dibiasakan sebelum
bermain, PR harus sudah selesai dan jika
tidak ada PR, mengulang kmbali pelajaran setidaknya membaca.
Saya belum menikah, tapi saya
adalah guru, mengajar kelas 3 SD. Saya
mulai belajar mendisiplinkan anak anak tentang hak dan kewajiban mereka. Contohnya,
untuk absebsi kehadiran. Saya mendapatkan
fakta, orang tua masih mengikuti anak yang
merengek tidak masuk sekolah dengan alasan sederhana, seperti malas atau lelah atau jenuh. Pada
saat pertemuan wali murid saya menekankan untuk orang tua tidak selalu mengikuti
kemauan anak yang seperti ini. Dan
masalah kehadiran itu adalah hal yang penting. Alhamdulillah, anak akhirnya terlatih
dan mempunyai kesadaran sendiri. Bahkan
saya yang luar biasa bahagianya, ada anak
yang sakit tetap minta masuk sekolah,
dia mngatakan nanti ketinggalan pelajaran. Begitupun wali murid, jika anaknya tidak masuk, mereka menemui
saya, karena biasanya, nggaa ada kabar,
ntah sakit atau izin. Disini pelajaran berharganya, jam pelajaran sekolah itu
telah disadari pentingnya. Memberi reward dan punishment, ini cara yang sangat
ampuh.
Dan seperti yang Bunda Neny
sampaikan tadi, tidak kaku juga orag tua
sebagai contoh (saya mnganggap saya orang tua utuk anak-anak di sekolah )
Dunia anak-anak adalah dunia
bermain, kenapa dia akhirnya merasa ingin selalu sekolah? Karena dia merasa
senang. Jadi saya berusaha mmbawa dunia mereka ke dalamnya, seperti games, memberi
reward. Yang paling sederhana rewardnya
pujian, juga tepuk tangan. Memberi punishment seperti bernyanyi yang lucu di depan
kelas. Saya mngajar di sekolah negeri, yang
tdak berbasis agama Islam, tapi mayoritas beragama Islam, Alhamdulillah. Sedikit sedikit demi sedikit saya menceritakan
tentang perjalanan Rasullullah, sahabat-sahabat, Islam, yang semua berhubungan dengan kejadian yang dialami,
contoh kalau bertengkar. Mereka antusias. Dan selanjutnya menerapkan. Saya mengatakan, kalau marah setannya mmbesar. Jadi harus banyak-banyak istighfar. Mereka benar-benar istighfar keesokan hari
dan seterusnya. Dan itu saya lakukan juga. Pernah ada temannya yang marah, satu kelas langsung sama-sama mengatakan,
jangan marah marah, bagimu surga. Disini saya merasa betapa beruntungnya saya
menjadi guru
M: Masyaallah, pengalaman
luar biasa, semoga saat diamanahi anak sendiri sudah lebih siap, walaupun
pasti, menghadapi anak sendiri tidak bisa sama persis dengan murid. Sikap anak
pada orang tua beda dengan sikapnya pada guru, itu sebabnya oran tua dan guru
harus menjalin komunikasi sehat untuk membimbing dan mendidik generasi.
P6: Itu dia salah satu
masalahnya, anak-anak sering mmbandingkan, "Nggak, Mis, kata mama begini kata mama begini. Seperti
maaf ibu ibu, arisan. Anak anak sekarang
kecil kecil sudah main arisan. Akhirnya
berantem. Trus nonton TV, acara
favoritnya sinetron karena orang tuanya juga memfavoritkan. Maaf ibu ibu,
agak sulit membantahkan yang orang tua dukung.
P7: Luar biasa pengalaman P6, tapi ada sedikit masukan dari saya untuk
penerapan setan membesar, sepertinya bahasanya diganti saja, misalnya
"Kalau marah setan jadi senang artinya kita sudah mengikuti setan, jadi
secara langsung kita sudah berteman dengan setan, kan kata Allah setan adalah
musuh yang nyata.” Maaf ya saya juga guru, saling berbagi saja.
P6: : Terimakasih P7,
masukannya. Saya pernah mndengar seperti
itu, makanya saya pakai. InsyaAllah saya perbaiki. Tapi untuk anak-anak kecil, ini bekerja
dengan baik karena membuat ngeri, tapi
saya sudah menyampaikan untuk tidak takut.
P7: Saya punya pengalaman di
sekolah, yang anak-anaknya sama sekali tidak peduli dengan kebersihan, padahal
di sekolah sudah dilatih bahkan ada patroli kebersihan, tapi sepertnya tidak
mempan. Setelah kita cari penyebabnya, ya ternyata di rumah tidak dibiasakan
(maklum di sekolah tempat saya bekerja rata-rata menengah ke atas), jadi
gimana, ya, untuk meminimalisir kondisi sepert ini?
M: : Kita boleh berharap
perubahan pada anak didik di sekolah, tapi satu hal yg tdk bisa kita abaikan,
keberadaan orang tua dan lingkungan rumah. Jalan terbaik adalah komunikasi
dengan orang tua, dan sedikit menurunkan target capaian, supaya tidak stress.
Upayakan mencari akar masalahnya, mengapa anak seperti itu? Bagaimana situasi
di rumah? Bagaimana sikap orang tua? Bagaimana sikap lingkungan? Dengan tahu
sumber masalah, solusinya lebih mudah ditemukan, insyaallah.
P6: Boleh saya berbagi
sedikit? Sebelum semua dimulai, pertama
saya perkenalkan kalimat Kebersihan sebagian dari iman. Allah suka yg bersih. Nah dari sini saya membuat
beberapa peraturan yang kita sepakati bersama,
Pertama, piket kelas, yang tidak melaksanakan, diberi
punishment menanam tanaman dirumah, dibawa kesekolah.
Kedua, sebelum mulai
pelajaran, memeriksa laci dan bawah meja dan kursi, jika masih ada sampah segera dibuang.
Ketiga, tidak memperbolehkan makan dikelas pada saat
jam pelajaran.
Keempat, memeriksa kuku
setiap Jumat dan Sabtu.
Karena baik hukumnya memotong
kuku pada hari Jumat, jadi pada hari
Jumat diperiksa, yang belum dipotong
akan memotong kukunya sepulang sekolah. Sabtu periksa lagi, anak-anak pasti
senang, apa yang sudah dikerjakan dilihat lagi.
Yang terakhir, murid
perempuan berambut panjang, harus mengikat atau pake bando biar terlihat rapi.
Karena anak-anak kalau udah istirahat,
banyak keringat acak acakan, kummel.
Tapi, cara yang paling ampuh
itu "cerewet", kita rajin-rajin mengingatkan. Saya, mah begitu, cerewet. Lihat sampah 1, pasti langsung mengingatkan. Itu
untuk kelas, tap kalau lebih luas, satu
sekolah. Susah juga.
P8: Subhanallah, keren! Sekolah
anak saya tidak seperti itu, kelas 2 SD, karena kebetulan wali kelasnya cowo, anak
saya yang TK juga kurang ada pelajaran disiplin, buang sampah, antri, kurang
sekali, jadi di rumah saya ajari buang sampah ditempatnya, Alhamdulillah
kemana-mana selalu bawa kantong kresek sendiri.
M: Terima kasih P6, sudah
berbagi pengalaman yang menginspirasi.
P9: Bagaimana trik-trik
mendidik anak yang emosional pada usia 12 tahun ?
P10: Anak saya 11 thn. Permasalahan saya, ketika
menghadapi anak, saya merasa hilang kesabaran ketika si kakak ini tidak melaksanakan intruksi yang saya
berikan dengan kata-kata yang santun. Malah lebih seperti menunda-nunda. Tapi
ketika saya marah dan habis sabarnya, si kakak malah makin mogok, ikut marah
juga. Gimana ya menghadapi tipikal anak yang seperti ini ? Mungkin pernah ada yang
mengalami?
P13: Saya termasuk orang tua
yang nggak sabaran, jadi seringnya keluar asap dari kepala.
M: kalau kita merasa habis
kesabaran, ya tambah lagi, minta sama Allah untuk ditambah kesabaran
P14: Saya ini yang belum bisa
kontrol dengan baik emosi, dan perlu belajar lebih untuk memahami anak-anak,
menyesal itu pasti kalau sudah lepas kontrol, kadang saya menangis sendiri,
ya Allah kok saya nggak bisa kayak
ibu-ibu yang lain, yang bisa sabaaaar banget menghadapi anak-anaknya.
M : sama saja, semua ibu
pernah mengalami hal seperti itu, jangan terlalu menyalahkan diri. Berdamai
dengan hati, ini proses. Kalau dipikir-pikir memang kita salah, jangan segan
minta maaf ke anak, dengan menjelaskan, salahnya dimana. Juga minta tolong
bantu anak supaya jaga sikap, supaya ibunya ga mengulang kesalahan yg sama.
Setiap anak bersalah, tunjukkan kesalahannya, kalau bisa tanpa marah.
Sebenarnya, yg kita inginkan, perubahan pada anak atau puas memarahi mereka
sebagai pelampiasan emosi? Kalau kita marah karena anak bersalah, setelah amarahnya
reda, minta maaf dan tunjukkan apa yg menyebabkan kita marah.
P11: Umi, anakku laki-laki
usia 7 tahun belum ada minat
belajar,belajar dirumah mengerjakan PR harus marah-marah dulu baru dkerjakan.
P12: Yang marah-marah anaknya
atau ibunya, nich?
P11: Ibunya,
yang marah kalau dibicarakan baik-baik, anaknya ngedumel kenapa sih aku harus
belajar terus, di sekolah aku belajar di rumah belajar lagi, aku cape, belum
trampil membaca dan menulis.
P12: Belum trampil baca
tulis? Kelas berapa?
P11: Ada saran dari teman,
biar saja dulu baru kelas 1 nanti juga mau belajar.
P13: Kalau saya boleh
sharing, tidak masalah anak umur 7 tahun belum bisa membaca, pelan-pelan nanti
juga bisa. karena bisa jadi memang belum matang usianya untuk sekolah.
M: setelah marah-marah, cape
nggak? Kalau marah menyebabkan anak lebih baik, nggak apa-apa, sih he he he.
Coba dengan berbagai trik, dan cermati kondisi emosi anak dalam setiap
kejadian, suatu saat kita akan menemukan cara yang tepat untuk kondisi emosi
tertentu. Metode mendidik itu bukan hanya dengan marah, #eh, malah nggak ada
yang mengajarkan metode pendidikan dengan cara marah, yang saya tahu, metode
yang diajarkan Rasulullah itu:
1. memberi contoh/ dengan
keteladanan
2. penjelasan/ pengajaran
3. pembiaran/pengabaian
4. hukuman
Tuh, nggak ada, kan metode
marah-marah?
P10: Ya cape, Umi, tapi
Alhamdulillah walau denga tangisan dia mau belajar, tapi saya khawatir kalau
dia jadi terbiasa dengan kondisi seperti itu, tapi kadang kalo dia gak belajar
saya ajak ngobrol tentang cita-citanya,mau nya apa,kenapa harus belajar?
Alhamdulillah saat ini sudah agak semangat untuk ke sekolah walau di sekolah
dapat laporan setiap pelajaran PAI entah karena faktor apa, selalu belum mau
ikut pelajaran tsb, sudah saya komunikasikan dengan wali keas, belum ada solusi jitu. Semangat untukk ikut
TPA tanpa paksaan,sholat juga sudah mulai antusias walau kadang masih naik
turun.
M: Alhamdulillah, dengan
kesabaran, insyaallah semua berjalan sesuai harapan, asal jangan terlalu tinggi
tuntutannya. Kemampuan anak berbeda, juga moodynya
P10: Iya, Mi...anak saya
moody banget.
P15: Saya punya anak 3 orang
usia 7, 12, 14, th. Yang 14 tahun, laki-laki, terkadang kalau merekasedang berkumpul, sering bertengkar, tapi kalau
mereka ada yang pergi salah satu (kebetulan yang tertua di pondok) adiknya suka
menanyakan, kapan kakaknya pulang, trus baru dua hari berkumpul, bertengkar
lagi. Kalau saya ikut campur salah satu bilang,
umi nggaa sayang sama Adek, atau katanya lagi, Umi pilih kasih. Terkadang saya
menyikapinya sesuai dengan usia mereka, tapi terkesan oleh kakaknya, saya tidak
adil. Saya mencoba cari waktu untuk
ngobrol dari hati ke hati dengan mereka, berdua (gentian), tapi kadang nggak
ketemu solusinya, atau faktor saya sendiri ya yang salah, terlalu banyak
tuntutan? Galau!
M: Kita harus percaya diri
jadi orang tua😀, jangan mudah merasa
bersalah atau galau. Sikap kita harus jelas, sehingga anak mudah memahami. Anak
sedang belajar berkomunikasi, memahami pesan yang disampaikan, baik verbal maupun
body language. Mereka belajar dari kita,
orang tuanya, orang yang terdekat. Sikap kita yang tidak jelas, akan
membingungkan mereka.
P15: He he iya nih, saya
sebagai ibu masih harus terus belajar memahami anak, apalagi dengan bahasa
verbal yang belum begitu baik, terimakasih Bu Neny.
P16: Saya ibu dengan 4 orang anak, dengan usia yang
tidak begitu jauh jaraknya 3,8,10 dan 12. Sedikit cerita, mereka berempat saya
tempatkan sejak play group di sekolah islam terpadu dan pada tempat yang sama,
dengan harapan di sana mereka mendapatkan pendidikkan terutama keislaman,
keimanan yang lebih, yang mungkin terlewat kami berikan di rumah dan disatukan
dalam sekolah yang sama agar bisa saling menjaga antara satu dengan yang lain.
Tetapi lingkungan itu bukan rumah atau sekolah saja, masih ada lingkungan
sosial di sekitar mereka terutama medsos, yang terkadang mereka sudah lebih
dulu mengetahui daripada kami. Terus terang, pada usia anak-anak saya yang usia
sekolah dan pra remaja, saya lebih protektif, terlebih kepada yang wanita, karena
mereka harus lebih memperhatikan sikap dan prilaku sebagai muslimah. Dari mereka
balita, saya berusaha untuk mereka
mengenal hijab, sedangkan yang laki-laki, kebetulan hanya satu, saya juga
protektif, tapi degnna cara terus mengingatkan, bahwa dia adalah calon imam untuk
dirinya, saudara perempuannya dan ibunya. Terkadang sikap protektif saya itu
agak berlebih, terutama soal tontonan, hp/medsos, dan juga pergaulan,
sampai-sampai anak-anak saya harus lapor ke saya, nama teman-temanya, orang
tuanya bahkan kalau ada hp ortunya saya minta untuk saya jadikan teman supaya
bisa dimonitor. Apakah ini yang namanya cara mendidik sebagai tawanan, karena yang
saya baca hampir menyerupai walaupun saya agak lebih sedkit .....he...he, mohon pencerahannya bu Neny, jazakillah
P16: Oh ya cara penerimaan
mereka berempat juga berbeda-beda, terkadang harus ada tangisan, ngambek masuk
kamar atau nggka mau makan karena protes, tapi alhamdulillah walaupun kami,
terutama saya terkadang harus ikut nangis menyendiri di kamar sebentar karena harus
menahan marah atau ada rasa hopeless, tapi tetap kita yang harus duluan
mengalah , terkadang minta maaf ke mreka supaya cepat masalahnya teratasi.
M : Alhamdulillah, P16 diberi
kemampuan untuk menghadirkan lingkungan yang lebih kondusif, ibarat hidangan,
menunya mewah! Itu tentu sangat dirindukan oleh hampir semua ibu, sehingga
sangat membantu dalam proses mendidik anak-anak. Setiap anak adalah unik,
dengan karakter yang berbeda-beda, walaupun mereka saudara seibu seayah. Jiwa
mereka punya keinginan dan kebebasan menentukan apa yang akan dilakukannya. Di
sinilah orang tua terus belajar, agar semakin bijak, memadukan apa keinginannya
kepada anak, yang diyakini untuk
kebaikan anak, dengan
keinginan anak yang mungkin dianggap kurang baik oleh orang tua. Kita tidak
bisa/ boleh otoriter, tetapi tidak baik juga kalau terlalu permisif, mengikuit
semua mau anak. wallahu 'alam.
P16: Jazakillah Bu Neny, atas
pencerahannya, terus terang untuk mengatasi stress yang hampir selalu muncul, saya bilang sama diri sendiri, bahwa sabar itu tidak
terbatas, belajar memahami keluarga itu tidak ada akhir, terkadang solusi belum
tercapai, ya saya mengadu sambil sesenggukan kepada Allah, kemudian manjakan
sebentar diri ini, saya kalau kesal, di kamar mandi itu bisa lama, kemudian
makan sesuatu yang dingin dan manis, kaya juice atau ice cream coklat (menurut
beberapa sumber manis dan coklat bisa membuat rasa bahagia dan gembira) he....he , untuk ke anak yang agak sulit,
saya terkadang keras tapi kadang saya biarkan dulu, bahkan ambil tindakan diam,
jadi mereka yang suka salah tingkah, baru ajak bicara dari hati ke hati,
biasanya saat mau tidur dipeluk atau dipijit, mengalir deh cerita mereka sampai
minta maaf dan tertidur, memang perlu kesediaan waktu untuk itu, ini sekedar
pengalaman mungkin bisa jadi sedikit manfaat untuk bunda-bunda yang lain.
M: Terima
kasih sharingnya, sangat bermanfaat, terutama yang belum atau baru diamanahi 1
anak.
No comments:
Post a Comment