Ibu yang cerdas, bijak dan bahagia insyaallah akan mampu merawat dan menumbuhkembangkan tunas bangsa yang berkarakter dan bertanggung jawab.
Wednesday, February 21, 2018
Memperlakukan Anak Usia 0-7 tahun Sebagai Raja
Memperlakukan anak usia 0-7 (tujuh tahun pertama) sebagai raja, apa maksudnya?
Konsep ini mengambil pola pendidikan yang dalam referensi disebut sebagai perkataan sahabat nabi, Ali bin Abi Thalib.
Mengingat ini semacam buah pemikiran manusia, boleh-boleh saja kita menafsirkannya secara berbeda.
Mengapa disebut sebagai raja? Mungkin karena di usia ini anak masih sangat butuh dibantu untuk memenuhi kebutuhannya.
Apakah untuk semua urusan anak harus dibantu?
Nah, di aspek ini akan banyak variasi dalam prakteknya, dan apa yang orang tua perlakukan ke anak, akan memberi pengaruh yang sangat besar kepada pembentukan karakternya.
Ingat konsep golden age? Masa-masa keemasan untuk perkembangan manusia, terutama kecerdasannya, sehingga diharapkan di usia tersebut anak mendapatkan pendidikan yang baik.
Kapan waktunya golden age?
Sebagian besar berpendapat di masa-masa balita, tapi ada juga yang mengatakan sampai usia 12 tahun, mengingat sampai usia tersebut perkembangan otak sedang pesat-pesatnya.
Menggabungkan konsep raja dan golden age, maka dalam mendidik keenam anak, saya berusaha sebaik mungkin memperhatikan mereka di usia 7 tahun pertamanya, sampai-sampai saya membukukannya, khusus untuk menceritakan keseharian saya dengan sibungsu terutama di usia 3-6 tahun.
Bagi saya, memperlakukan anak sebagai raja bukan semata-mata melayani kebutuhannya, tetapi juga mempersiapkan anak untuk menjadi seorang raja/ pemimpin.
Seorang pemimpin harus memiliki karakter yang layak menempatkannya di posisi pengambil keputusan, berani, mengayomi dan bertanggung jawab, dan karakter seperti itu harus disiapkan sedini mungkin.
Dalam perlakuan, sangat perlu diperhatikan keunikan setiap anak, karena manusia mempunyai potensi dan sifat dasar yang berbeda-beda. Pun, sangat harus diperhatikan dari sisi usia dan perkembangannya..
Mendidik anak bisa dikatakan seni, dimana orang tua harus kreatif membuat rekayasa, karena tidak ada metode pendidikan yang baku yang bisa diberlakukan untuk setiap anak.
Di sini perlunya orang tua tidak berhenti belajar, sehingga bisa mendampingi perkembangan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang dan bijak.
Monday, February 19, 2018
Mengambil Pelajaran dari Diskusi yang Tidak Efektif
Diskusi adalah pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah (KBBI daring).
Diskusi berarti proses bertukar pikiran antara dua orang atau lebih tentang suatu masalah untuk mencapai tujuan tertentu (Wikipedia Indonesia).
Prinsip dasar diskusi, antara lain:
* Menghindari debat kusir/ perselisihan tanpa alasan yang jelas.
* Menyanggah/menolak pendapat orang lain harus didasari argumentasi yang kuat dan meyakinkan.
* Setiap peserta dituntut aktif.
* Tidak ada pemenang dalam diskusi, yang didapat dari diskusi adalah mufakat dari berbagai pendapat.
Unsur-unsur diskusi:
1. Materi : merupakan masalah yang dibahas untuk dipahami, diketahui sebab-sebabnya, dianalisis, dicari solusinya, diambil keputusan yang tepat sesuai keadaan dan kebutuhan.
2. Manusia: moderator, notulis, peserta, penyaji.
Moderator bertugas membuka, membacakan tata tertib, memperkenalkan notulis dan penyaji, mengarahkan dan mengatur arah pembicaraan, menyampaikan kesimpulan, menutup diskusi.
Notulis bertugas mencatat hal-hal penting dalam diskusi, baik teknis maupun materi pembicaraan.
Peserta bertugas mengikuti kegiatan diskusi secara aktif, bukan sekedar pendengar, melainkan juga memberikan tanggapan, pertanyaan, dll.
Penyaji bertugas menjelaskan isi permasalahan dalam bentuk makalah.
Bagaimana sebuah diskusi disebut efektif?
Efektif artinya berhasil guna, ada efek/pengaruhnya, terutama bagi peserta diskusi.
Diskusi efektif terkait erat dengan komunikasi yang efektif. Beberapa hal yang harus dilakukan agar hal tersebut tetap bertahan dalam diskusi adalah dengan memastikan hal yang disampaikan jelas dan spesifik serta mendengar secara efektif, menerima tanggapan dari orang lain secara terbuka, jujur serta bertanya untuk mengklarifikasi apakah informasi yang diproses pendengar benar atau tidak.
Bagaimana kalau forum diskusi menggunakan fasilitas WA? Tidak ada tatap muka? Tidak hadir dalam waktu yang sama? Dengan peserta yang sebagian besar belum dikenal?
Dari beberapa kelas kulwap yang pernah saya ikuti, peraturan yang diberlakukan adalah kesepakatan untuk online di waktu yang telah disepakati. Jujur, saya sering tidak bisa konsisten dengan hal satu ini, mengingat aktivitas di dunia nyata yang sulit dijadwalkan. Itu sebabnya saya tidak memberlakukan hal tersebut. Mungkinkah ketemu waktu yang sama dari 257 orang yang ada di grup?
Dari uraian di atas, kita bisa mengevaluasi kualitas diskusi di grup WA Tunas yang sudah dimulai sejak 12 Februari 2018.
Awalnya ditawarkan 6 grup diskusi via WA, karena ada satu grup yang telah memenuhi kuota, yaitu 257 orang, maka ditambah satu grup lagi yang peminatnya melebihi kuota grup WA. Sedangkan grup ke delapan, sempat terbentuk, tapi segera dihapus karena di grup sejenis, ada beberapa yang mengundurkan diri.
7 grup dengan anggota minimal 55 orang maksimal 257 orang.
Kira-kira, dari jumlah pesertanya, efektifkan diskusi yang berlangsung?
Untuk memenuhi unsur diskusi: moderator, notulis, penyaji, saya upayakan dari masing-masing grup, tapi sampai saat ini belum efektif berjalan. Ha ha, saya jadi ingat candaan dengan teman-teman, kalau mau memberi ide, bersiaplah melakukannya sendiri. Akhirnya, sampai saat ini saya rangkap jabatan: admin grup, moderator,notulis dan sekaligus penyaji untuk 7 grup diskusi WA.
Kalang kabut?
Ya, kalau saya mau mengapresiasi dan mengikuti keinginan semua anggota grup. Tapi saya cukup realistis, mengingat grup diskusi ini dibuat sebagai sarana saya dan peserta lain saling sharing pengalaman dalam kehidupan berkeluarga, sebagai sesama perempuan.
Saya berharap, dari grup diskusi ini, peserta tetap mendapatkan sebuah efek/ pengaruh/ manfaat dari tema-tema yang didiskusikan. Baik itu menambah wawasan, menambah kesabaran karena termotivasi pengalaman peserta lain dan bersemangat untuk meningkatkan kualitas diri sebagai perempuan yang berperan utama dalam melahirkan generasi bangsa yang berkualitas.
Saturday, February 17, 2018
Memperlakukan Anak Usia 14-21 tahun sebagai Sahabat
Berikut hasil diskusi grup WA Tunas Parenting 7-2.
Untuk memudahkan, selanjutnya saya menyebutkan M untuk diri
saya sebagai moderator dan inisial nama peserta, sebagai apresiator.
***
M: Saya tertarik dengan sebuah konsep pendidikan yang berbasis
Islam, dimana dalam membahas fase perkembangan anak dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Usia 0-7 tahun, perlakukan anak sebagai raja.
2. Usia 7-14 tahun , perlakukan anak sebagai tawanan.
3, Usia 14-21 tahun, perlakukan anak sebagai sahabat.
Konsep tersebut bisa dicari di google (paling gampang) dengan kata kunci, mendidik anak ala Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah sahabat yang dididik langsung oleh Rasulullah saw dan mendapat gelaran sebagai gudang ilmu.
Pembagian fase tersebut tentu saja menimbulkan berbagai
penafsiran, sesuai pemahaman seseorang.
Mari kita berdiskusi, untuk berbagi pemikiran, memaknai fase
ketiga, perlakukan anak sebagai SAHABAT.
MQ: Saya punya adik usia 17 tahun, makna jadikan mereka sebagai
sahabat, artinya harus mendekati, diajak bercerita/curhat, mengetahuu siapa teman-temanya,
diajak terbuka tentang dirinya atau tentang pergaulan.
M: Bagaimana reaksinya selama ini?
MQ: : Hm…cukup terbuka, tapi belum
terbuka banget kalau nggak ditanya, nggak diajak ngobrol.
Adik saya laki-laki, dia sangat akrab dengan kawan-kawannya.
Terkadang seumuran mereka, kedisplinan kudu salalu diingetkan, kayak belum tertanam.
Kalau kita larang ehh, malah dilakukan.
SW: Saya suka dengan fokus bahasannya. Sebenarnya untuk fase
terakhir ingin sekali menganggap anak seperti sahabat, tapi sampai sekarang
anak saya (14,5 tahun), masih seperti anak yang harus dituntun untuk disiplin,
dll nya, mulai dari belajar sampai ke kegiatan kehidupan lainnya. Jadi, bagaimana,
yah ?
M: Fase ketiga merupakan hasil dari perlakuan di fase pertama
dan kedua. Mungkin perlu dievaluasi dan segera dikejar, mana-mana yang belum
dilakukan? Tidak ada kata terlambat, hanya mungkin
perlu perjuangan ekstra
SW: Begitu yah? Dimana saya bisa mendapatkan panduannya, untuk
mengevaluai dan mengejar yang belum dilakukan?
M: Saya ada beberap buku parenting terbitan lama, tapi yang
jadi andalan,, buku Tarbiyatul Aulad karya Abdullah Nashih Ulwan, kalau yang
buku-buku modern, saya jarang membeli, hanya mengintip di google, maklum,
baca-bacanya intens dulu, sebelum punya anak dan awal-awal punya anak, sekarang
sih sudah punya cucu.
N : Saya setuju dengan anak umur 14-21 di jadikan
sahabat. Kita bisa bercanda dan curhat
sama mereka, jadi hati lebih dekat dan karena
dekat jadi lebih mudah untuk mengingatkan hal hal yang harus diwaspadai remaja.
Alhamdulillah lebih bisa diajak kompromi untuk hal hal yang tidak boleh. Anak saya yang sulung umur 20 tahun (laki-laki)
dan yang no 2 hampir 15 tahun
(perempuan). Tapi untuk yang perempuan, sebelum ini banyak saya doktrin, nggak boleh pulang malam, nggak boleh nginap tempat teman, nggak boleh pakai baju yang tidak sopan dll. Alhamdulillah,
kelas 6 anak saya sudah ingin pakai jilbab.. Dan selalu cerita tentang
kegiatan dan temannya. Hanya sedikit problem,
belum tumbuh untuk tanggung jawab pekerjaan di rumah, harus nunggu disuruh, mungkin karena saya
sibuk bekerja, untuk menumbuhkan tanggung jawab di rumah jadi agak alpa. Sering diselesaikan sendiri, sehingga sekarang anak gadis saya belum
tumbuh tanggung jawab pekerjaan rumahnya. Agak kepikiran karena anak gadis harus
bisa pekerjaan rumah dengan baik untuk bekal dia jadi ibu. Gimana ya ibu ibu
sarannya? Terima kasih.
M: Problem anak jaman now, kepekaan dan kesadaran yang
rendah akan tanggung jawab pekerjaan di rumah. Yang jadi pertanyaan, bagaimana
pembiasaan selama ini? Karena untuk urusan yang satu ini sangat tergantung pada
pengertian yang kita berikan, penjelasan "ambak", "apa
manfaatnya bagiku" jika trampil dengan pekerjaan rumah, juga kesempatan yang
kita berikan, apalagi kalau kita sukses menjalin persahabatan dengan anak. Saya
malah sering curhat ke anak tentang masalah-masalah pekerjaan rumah, sebagai
salah satu cara menumbuhkan empatinya untuk ikut turun tangan mengatasinya.
N: Iya Umi, itu
mungkin kelemahan saya selama ini sering maklum dan kurang keras untuk
pekerjaan rumah, karena beban di sekolah
mereka sudah banyak, sudah sering di ajak ngobrol cuma memang karena mereka
kadang pulang sudah kelelahan jadi lagi lagi kita banyak maklum. Mungkin karena ada asisten rumah tangga juga
ya, yang jadi hambatannya. Asisten rumah
tangga datang pagi dan pulang jam 10 an.
M: Sistem sekolah tentu tidak bisa kita intervensi, artinya
kita tidak bisa menuntut terlalu banyak ke anak yang kita sekolahkan di sana.
Tinggal bagaimana kita berdamai dengan anak, butuh kesabaran untuk menunggu
kesadaran itu muncul dari dalam diri anak, tapi jangan pernah berhenti
mengkomunikasikannya dengan cara yang bervariasi. Mungkin selama ini cara yang
digunakan belum klik dengan kesadarannya.
IA: Bukan hanya komunikasi dan menunggu kesadaran anak saja,
dari kita sebagai orang dewasa juga perlu memberikan stimulus yang tepat yang
dibutuhkan oleh anak. Kita ajak diskusi ananda, tanyakan hal yang paling dia
suka, selain itu juga hal apa yang membuat dia sedih/kurang suka. Dari situ
pemberian stimulasi akan lebih mudah.
Z : Anak saya yang pertama
19 tahun, dulu problemnya sama, kalau disuruh sering membantah dan semaunya
,tidak mau bantu kerjaan orang tua, tapi karena sekarang kuliah di luar pulau,
Alhamdulillah sudah tumbuh kesadaran untuk berbakti kepada orang tua dan bisa lebih
akrab seperti teman, kalau dulu kerjaannya berdebat terus sama kita, mungkin karena
usia juga mempengaruhi ya? Sekarang ini malah kalau nelpon , saya jadi baper,
kok anak saya berubah banget, ya…
Alhamdulillah...kan dia lagi kuliah di fakultas kebidanan, jadi tau betapa berat
perjuangan seorang ibu. Jadi disini saya bisa ambil kesimpulan , bahwa kita sebagai
ibu jangan pernah merasa bosan menasihati anak-anak, karena InsyaAllah semua
itu tidak sia-sia. Karena apa yang kita sampaikan dulu masih diingat mereka dan
diakui serta dijalankannya.
DF: Aahh... apa harus nunggu sulung saya kuliah ya buat
merasakan kalau dia masih butuh orangtuanya?
Z: Ga usah putus asa bunda, semua ada prosesnya, bisa cepat
atau lambat, yang penting nasehat dan doa kita, tidak didengar sekarang, esok
pasti mereka paham
M : Bisa dipercepat, pandai-pandai orang tua berkomunikasi,
membuat rekayasa, dan motivasi.
Kesimpulan: Saat orang tua bisa menjalin persahabatan dengan anaknya di usia dimana anak sudah lebih bisa diajak berfikir, maka akan lebih mudah menghadapi berbagai permasalahan manusiawi yang umumnya hadir di usia remaja.
Wednesday, February 14, 2018
Memperlakukan Anak sebagai Tawanan, Apa Maksudnya?
Berikut adalah catatan, hasil diskusi di grup WA Tunas Parenting 7-2.
Selaku moderator, saya menuliskan dengan M, dan peserta dengan P.
M: Saya tertarik dengan
sebuah konsep pendidikan yang berbasis Islam, dimana dalam membagi fase
perkembangan anak dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Usia 0-7 tahun, perlakukan
anak sebagai raja.
2. Usia 7-14 tahun ,
perlakukan anak sebagai tawanan.
3, Usia 14-21 tahun, perlakukan
anak sebagai sahabat.
Pembagian fase tersebut tentu
saja menimbulkan berbagai penafsiran, sesuai pemahaman seseorang.
Mari kita berdiskusi, untuk
berbagi pemikiran, memaknai fase kedua, perlakukan anak sebagai TAWANAN.
Apa yang teman-teman pahami
dan perlakuan seperti apa yang sudah dipraktekkan ke anak-anak dan bagaimana
reaksinya?
Jangan segan berbagi, bisa
jadi apa yang kita sampaikan di sini sangat bermanfaat untuk teman lain dan
menjadi sebab mengalirnya pahala jariah untuk kita.
P1: Mengenai tema hari ini
"konsep pendidikan yang berbasis Islam, dimana fase perkembangan pada anak
usia 7-14 tahun disebutkan memperlakukan anak sebagai tawanan", maaf
ini referensi dari mana ya? Atau ada tidak
buku /sumber yang tertulis dengan pengarangnya, yang membicarakan mengenai
konsep ini? Agar kita bisa punya pegangan, paling tidak bisa membrowsingnya di
mbah google untuk memberi pendapat, ide atau sedikit argumentasi.
M: P1 bisa mencarinya di
google (yang paling gampang, dengan kata kunci:
mendidik ala Ali bin Abi Thalib. Mengapa Ali? Beliau adalah sahabat yang
dididik langsung oleh Rasulullah saw dan mendapat gelaran sebagai gudang ilmu.
P1: Ok , saya sudah
bersahabat dengan Mbah Google he...he , tapi harus ada panduannya, biar nggak
nyasar kemana-mana.
M: Sudah sesuai, kan? Panduan
yang seperti apa? Kalau ke google, panduannya ya kata kunci
P2: Perlakuan anak sebagai
tawanan ini memposisikan anak untuk selalu terpantau atau terjaga bukan, ya Mi?
Di usia tersebut kan anak mengenal lingkungan baru selain keluarga, jadi
anak-anak harus dijaga dari dampak atau pengaruh dari luar. Saya belum punya
anak, tapi punya adik yang kebetulan masih masuk usia ini, bingung sih kadang
kalau over protectif dia malah ngejauh dan menutup jadi nggak terbuka lagi sama
saya.
M: Kalau kita mengacu pada
panduan buku-buku pendidikan Islam, usia 7-14 tahun merupakan waktu melatih dan
menguatkan mereka dalam berkomitmen, yang seharusnya sudah kita kenalkan
masalah kedisiplinan dari fase sebelumnya.
P2: Berarti ini orang tua
juga harus mencontohkan kedisiplinan itu sendiri ya.
M: Itu cara yang paling efektif.
P3: Anak saya usianya 8 setengah
tahun,perempuan, memang nggak suka dirumah,maunya main ke rumah teman-temannya,dan
di tempat saya anak seusia dia nggak yang perempuan, jadi dia lebih sering main
dengan anak-anak yang seusia adiknya,
sekitar 4 5 tahunan. Apa bisa berpengaruhpada kedewasaannya, yang seharusnya usia 8 tahun, tapi masih seperti anak 4 5
tahunan?
M: Sebagai orang tua kita
berusaha jeli melihat peluang untuk menerapkan pendidikan dalam lingkungan
seperti apapun, selama kita belum mampu memberikan lingkungan yang ideal. Kita
harus berfikir, nilai pendidikan apa yang bisa saya berikan dalam situasi
seperti ini?
P3: Saya coba kasih pengertian ke dia jika dia
lebih dewasa dari teman-temannya, saya ajarkan dia untuk bisa menjaga, menjadi
kakak, tapi terkadang memang masih terlalu menjadi anak kecil yang suka rebutan
dengan adiknya.
M: Sangat bisa dimaklumi,
bahkan untuk anak yang mendapatkan lingkungan ideal menurut kita. Mengajarkan
sebuah konsep, tidak bisa hanya dengan sekali penjelasan, langsung anak
mengerti. di sinilah letak kesabaran orang tua yang tak berujung, untuk
mengajarkan sebuah hal, butuh berulang-ulang mengajarkan dan mengingatkannya.
Perlu kita ingat dan tak boleh melupakannya, anak adalah jiwa yang punya
pemikiran dan keinginan sendiri, nah, tugas kita, bagaimana arah jiwa itu
sesuai dengan yang Allah kehendaki.
P4: Alhamdulillah anak
pertama saya usia 10 tahun dan anak ke 2 usia 8,5 th. Yang saya pahami dari
konsep mendidik anak usia 7- 14 th ini yaitu dalam hal mendisiplinkan anak
dengan membuat jadwalnya, ada konsekuensi yang harus diterima anak dari
pendisiplinan ini, dan pada usia ini anak perempuan harus dekat pada ibunya sebab
banyak hal yang harus mereka pelajari dan sebaliknya dengan anak laki-laki,
mereka harus dekat dengan ayahnya. Sudah benarkah pemahaman saya, atau ada yang
harus diluruskan?
M: Membuat jadwal adalah
salah satu teknis dalam menanamkan kedisiplinan, tapi jangan sampai kita
terlalu kaku dalam hal ini. Akan lebih penting bagaimana kita menanamkan
kesadaran pada anak, bahwa mereka butuh untuk memiliki karakter disiplin, dan
itu harus dilatih sejak dini. Hidup disiplin akan mempermudah hidup mereka.
Dengan menanamkan kedisiplinan, anak juga menyadari bahwa mereka tidak bisa
hidup semau-maunya, ada aturan yang harus diikuti, yang semua itu mengarah dan
melatih agar anak akan dengan ringan untuk melaksanakan aturan-aturan Allah.
P5: Mi, usia 9 dan 10 tahun
untul subuh di masjid, sudah mutlak atau masih bisa kita agak longgar?
M: Untuk urusan sholat subuh
di masjid, bahkan sampai anak jenggotan masih sering diingatkan dan dimotivasi
P5: Efektif, kah kalau kita buat
punishment & reward ke anak-anak usia 9 dan 10 tahun, kalau ada rutinitas
harian yang belum sempurna dilakukan & jika tuntas dikerjakan anak-anak? Kalau
menurut Umi reward dan punishment seperti apa yang sesuai ?
M: Untuk masalah reward dan
punishment Umi biasa buat kesepakatan dengan anak, sesuai kemampuannya, karena
intinya ada pada pembiasaan untuk kesadaran.
P6: Saya setuju, mendidik anak
sebagai tawanan, menurut saya di usia
ini anak mulai diperkenalkan tentang hak dan kewajiban. Contohnya,
saya ingat, mulai membantu ibu d waktu SD. Saya dan adik saya berjarak 3
tahun. Pada waktu SD, saya lupa umur berapa, kami sudah dibagi tugas, saya untuk urusan cuci piring, adik saya menyapu. Dan akhirnya, sampai saat
ini kami tetap berbagi tugas dan sudah tau tugas masing masing. Apapun kesibukan
masing masing, tetap kewajiban harus dilaksanakan, malah sering tolong
menolong. Dan itu sangat membantu. Begitu,
pun masalah belajar, kami dibiasakan sebelum
bermain, PR harus sudah selesai dan jika
tidak ada PR, mengulang kmbali pelajaran setidaknya membaca.
Saya belum menikah, tapi saya
adalah guru, mengajar kelas 3 SD. Saya
mulai belajar mendisiplinkan anak anak tentang hak dan kewajiban mereka. Contohnya,
untuk absebsi kehadiran. Saya mendapatkan
fakta, orang tua masih mengikuti anak yang
merengek tidak masuk sekolah dengan alasan sederhana, seperti malas atau lelah atau jenuh. Pada
saat pertemuan wali murid saya menekankan untuk orang tua tidak selalu mengikuti
kemauan anak yang seperti ini. Dan
masalah kehadiran itu adalah hal yang penting. Alhamdulillah, anak akhirnya terlatih
dan mempunyai kesadaran sendiri. Bahkan
saya yang luar biasa bahagianya, ada anak
yang sakit tetap minta masuk sekolah,
dia mngatakan nanti ketinggalan pelajaran. Begitupun wali murid, jika anaknya tidak masuk, mereka menemui
saya, karena biasanya, nggaa ada kabar,
ntah sakit atau izin. Disini pelajaran berharganya, jam pelajaran sekolah itu
telah disadari pentingnya. Memberi reward dan punishment, ini cara yang sangat
ampuh.
Dan seperti yang Bunda Neny
sampaikan tadi, tidak kaku juga orag tua
sebagai contoh (saya mnganggap saya orang tua utuk anak-anak di sekolah )
Dunia anak-anak adalah dunia
bermain, kenapa dia akhirnya merasa ingin selalu sekolah? Karena dia merasa
senang. Jadi saya berusaha mmbawa dunia mereka ke dalamnya, seperti games, memberi
reward. Yang paling sederhana rewardnya
pujian, juga tepuk tangan. Memberi punishment seperti bernyanyi yang lucu di depan
kelas. Saya mngajar di sekolah negeri, yang
tdak berbasis agama Islam, tapi mayoritas beragama Islam, Alhamdulillah. Sedikit sedikit demi sedikit saya menceritakan
tentang perjalanan Rasullullah, sahabat-sahabat, Islam, yang semua berhubungan dengan kejadian yang dialami,
contoh kalau bertengkar. Mereka antusias. Dan selanjutnya menerapkan. Saya mengatakan, kalau marah setannya mmbesar. Jadi harus banyak-banyak istighfar. Mereka benar-benar istighfar keesokan hari
dan seterusnya. Dan itu saya lakukan juga. Pernah ada temannya yang marah, satu kelas langsung sama-sama mengatakan,
jangan marah marah, bagimu surga. Disini saya merasa betapa beruntungnya saya
menjadi guru
M: Masyaallah, pengalaman
luar biasa, semoga saat diamanahi anak sendiri sudah lebih siap, walaupun
pasti, menghadapi anak sendiri tidak bisa sama persis dengan murid. Sikap anak
pada orang tua beda dengan sikapnya pada guru, itu sebabnya oran tua dan guru
harus menjalin komunikasi sehat untuk membimbing dan mendidik generasi.
P6: Itu dia salah satu
masalahnya, anak-anak sering mmbandingkan, "Nggak, Mis, kata mama begini kata mama begini. Seperti
maaf ibu ibu, arisan. Anak anak sekarang
kecil kecil sudah main arisan. Akhirnya
berantem. Trus nonton TV, acara
favoritnya sinetron karena orang tuanya juga memfavoritkan. Maaf ibu ibu,
agak sulit membantahkan yang orang tua dukung.
P7: Luar biasa pengalaman P6, tapi ada sedikit masukan dari saya untuk
penerapan setan membesar, sepertinya bahasanya diganti saja, misalnya
"Kalau marah setan jadi senang artinya kita sudah mengikuti setan, jadi
secara langsung kita sudah berteman dengan setan, kan kata Allah setan adalah
musuh yang nyata.” Maaf ya saya juga guru, saling berbagi saja.
P6: : Terimakasih P7,
masukannya. Saya pernah mndengar seperti
itu, makanya saya pakai. InsyaAllah saya perbaiki. Tapi untuk anak-anak kecil, ini bekerja
dengan baik karena membuat ngeri, tapi
saya sudah menyampaikan untuk tidak takut.
P7: Saya punya pengalaman di
sekolah, yang anak-anaknya sama sekali tidak peduli dengan kebersihan, padahal
di sekolah sudah dilatih bahkan ada patroli kebersihan, tapi sepertnya tidak
mempan. Setelah kita cari penyebabnya, ya ternyata di rumah tidak dibiasakan
(maklum di sekolah tempat saya bekerja rata-rata menengah ke atas), jadi
gimana, ya, untuk meminimalisir kondisi sepert ini?
M: : Kita boleh berharap
perubahan pada anak didik di sekolah, tapi satu hal yg tdk bisa kita abaikan,
keberadaan orang tua dan lingkungan rumah. Jalan terbaik adalah komunikasi
dengan orang tua, dan sedikit menurunkan target capaian, supaya tidak stress.
Upayakan mencari akar masalahnya, mengapa anak seperti itu? Bagaimana situasi
di rumah? Bagaimana sikap orang tua? Bagaimana sikap lingkungan? Dengan tahu
sumber masalah, solusinya lebih mudah ditemukan, insyaallah.
P6: Boleh saya berbagi
sedikit? Sebelum semua dimulai, pertama
saya perkenalkan kalimat Kebersihan sebagian dari iman. Allah suka yg bersih. Nah dari sini saya membuat
beberapa peraturan yang kita sepakati bersama,
Pertama, piket kelas, yang tidak melaksanakan, diberi
punishment menanam tanaman dirumah, dibawa kesekolah.
Kedua, sebelum mulai
pelajaran, memeriksa laci dan bawah meja dan kursi, jika masih ada sampah segera dibuang.
Ketiga, tidak memperbolehkan makan dikelas pada saat
jam pelajaran.
Keempat, memeriksa kuku
setiap Jumat dan Sabtu.
Karena baik hukumnya memotong
kuku pada hari Jumat, jadi pada hari
Jumat diperiksa, yang belum dipotong
akan memotong kukunya sepulang sekolah. Sabtu periksa lagi, anak-anak pasti
senang, apa yang sudah dikerjakan dilihat lagi.
Yang terakhir, murid
perempuan berambut panjang, harus mengikat atau pake bando biar terlihat rapi.
Karena anak-anak kalau udah istirahat,
banyak keringat acak acakan, kummel.
Tapi, cara yang paling ampuh
itu "cerewet", kita rajin-rajin mengingatkan. Saya, mah begitu, cerewet. Lihat sampah 1, pasti langsung mengingatkan. Itu
untuk kelas, tap kalau lebih luas, satu
sekolah. Susah juga.
P8: Subhanallah, keren! Sekolah
anak saya tidak seperti itu, kelas 2 SD, karena kebetulan wali kelasnya cowo, anak
saya yang TK juga kurang ada pelajaran disiplin, buang sampah, antri, kurang
sekali, jadi di rumah saya ajari buang sampah ditempatnya, Alhamdulillah
kemana-mana selalu bawa kantong kresek sendiri.
M: Terima kasih P6, sudah
berbagi pengalaman yang menginspirasi.
P9: Bagaimana trik-trik
mendidik anak yang emosional pada usia 12 tahun ?
P10: Anak saya 11 thn. Permasalahan saya, ketika
menghadapi anak, saya merasa hilang kesabaran ketika si kakak ini tidak melaksanakan intruksi yang saya
berikan dengan kata-kata yang santun. Malah lebih seperti menunda-nunda. Tapi
ketika saya marah dan habis sabarnya, si kakak malah makin mogok, ikut marah
juga. Gimana ya menghadapi tipikal anak yang seperti ini ? Mungkin pernah ada yang
mengalami?
P13: Saya termasuk orang tua
yang nggak sabaran, jadi seringnya keluar asap dari kepala.
M: kalau kita merasa habis
kesabaran, ya tambah lagi, minta sama Allah untuk ditambah kesabaran
P14: Saya ini yang belum bisa
kontrol dengan baik emosi, dan perlu belajar lebih untuk memahami anak-anak,
menyesal itu pasti kalau sudah lepas kontrol, kadang saya menangis sendiri,
ya Allah kok saya nggak bisa kayak
ibu-ibu yang lain, yang bisa sabaaaar banget menghadapi anak-anaknya.
M : sama saja, semua ibu
pernah mengalami hal seperti itu, jangan terlalu menyalahkan diri. Berdamai
dengan hati, ini proses. Kalau dipikir-pikir memang kita salah, jangan segan
minta maaf ke anak, dengan menjelaskan, salahnya dimana. Juga minta tolong
bantu anak supaya jaga sikap, supaya ibunya ga mengulang kesalahan yg sama.
Setiap anak bersalah, tunjukkan kesalahannya, kalau bisa tanpa marah.
Sebenarnya, yg kita inginkan, perubahan pada anak atau puas memarahi mereka
sebagai pelampiasan emosi? Kalau kita marah karena anak bersalah, setelah amarahnya
reda, minta maaf dan tunjukkan apa yg menyebabkan kita marah.
P11: Umi, anakku laki-laki
usia 7 tahun belum ada minat
belajar,belajar dirumah mengerjakan PR harus marah-marah dulu baru dkerjakan.
P12: Yang marah-marah anaknya
atau ibunya, nich?
P11: Ibunya,
yang marah kalau dibicarakan baik-baik, anaknya ngedumel kenapa sih aku harus
belajar terus, di sekolah aku belajar di rumah belajar lagi, aku cape, belum
trampil membaca dan menulis.
P12: Belum trampil baca
tulis? Kelas berapa?
P11: Ada saran dari teman,
biar saja dulu baru kelas 1 nanti juga mau belajar.
P13: Kalau saya boleh
sharing, tidak masalah anak umur 7 tahun belum bisa membaca, pelan-pelan nanti
juga bisa. karena bisa jadi memang belum matang usianya untuk sekolah.
M: setelah marah-marah, cape
nggak? Kalau marah menyebabkan anak lebih baik, nggak apa-apa, sih he he he.
Coba dengan berbagai trik, dan cermati kondisi emosi anak dalam setiap
kejadian, suatu saat kita akan menemukan cara yang tepat untuk kondisi emosi
tertentu. Metode mendidik itu bukan hanya dengan marah, #eh, malah nggak ada
yang mengajarkan metode pendidikan dengan cara marah, yang saya tahu, metode
yang diajarkan Rasulullah itu:
1. memberi contoh/ dengan
keteladanan
2. penjelasan/ pengajaran
3. pembiaran/pengabaian
4. hukuman
Tuh, nggak ada, kan metode
marah-marah?
P10: Ya cape, Umi, tapi
Alhamdulillah walau denga tangisan dia mau belajar, tapi saya khawatir kalau
dia jadi terbiasa dengan kondisi seperti itu, tapi kadang kalo dia gak belajar
saya ajak ngobrol tentang cita-citanya,mau nya apa,kenapa harus belajar?
Alhamdulillah saat ini sudah agak semangat untuk ke sekolah walau di sekolah
dapat laporan setiap pelajaran PAI entah karena faktor apa, selalu belum mau
ikut pelajaran tsb, sudah saya komunikasikan dengan wali keas, belum ada solusi jitu. Semangat untukk ikut
TPA tanpa paksaan,sholat juga sudah mulai antusias walau kadang masih naik
turun.
M: Alhamdulillah, dengan
kesabaran, insyaallah semua berjalan sesuai harapan, asal jangan terlalu tinggi
tuntutannya. Kemampuan anak berbeda, juga moodynya
P10: Iya, Mi...anak saya
moody banget.
P15: Saya punya anak 3 orang
usia 7, 12, 14, th. Yang 14 tahun, laki-laki, terkadang kalau merekasedang berkumpul, sering bertengkar, tapi kalau
mereka ada yang pergi salah satu (kebetulan yang tertua di pondok) adiknya suka
menanyakan, kapan kakaknya pulang, trus baru dua hari berkumpul, bertengkar
lagi. Kalau saya ikut campur salah satu bilang,
umi nggaa sayang sama Adek, atau katanya lagi, Umi pilih kasih. Terkadang saya
menyikapinya sesuai dengan usia mereka, tapi terkesan oleh kakaknya, saya tidak
adil. Saya mencoba cari waktu untuk
ngobrol dari hati ke hati dengan mereka, berdua (gentian), tapi kadang nggak
ketemu solusinya, atau faktor saya sendiri ya yang salah, terlalu banyak
tuntutan? Galau!
M: Kita harus percaya diri
jadi orang tua😀, jangan mudah merasa
bersalah atau galau. Sikap kita harus jelas, sehingga anak mudah memahami. Anak
sedang belajar berkomunikasi, memahami pesan yang disampaikan, baik verbal maupun
body language. Mereka belajar dari kita,
orang tuanya, orang yang terdekat. Sikap kita yang tidak jelas, akan
membingungkan mereka.
P15: He he iya nih, saya
sebagai ibu masih harus terus belajar memahami anak, apalagi dengan bahasa
verbal yang belum begitu baik, terimakasih Bu Neny.
P16: Saya ibu dengan 4 orang anak, dengan usia yang
tidak begitu jauh jaraknya 3,8,10 dan 12. Sedikit cerita, mereka berempat saya
tempatkan sejak play group di sekolah islam terpadu dan pada tempat yang sama,
dengan harapan di sana mereka mendapatkan pendidikkan terutama keislaman,
keimanan yang lebih, yang mungkin terlewat kami berikan di rumah dan disatukan
dalam sekolah yang sama agar bisa saling menjaga antara satu dengan yang lain.
Tetapi lingkungan itu bukan rumah atau sekolah saja, masih ada lingkungan
sosial di sekitar mereka terutama medsos, yang terkadang mereka sudah lebih
dulu mengetahui daripada kami. Terus terang, pada usia anak-anak saya yang usia
sekolah dan pra remaja, saya lebih protektif, terlebih kepada yang wanita, karena
mereka harus lebih memperhatikan sikap dan prilaku sebagai muslimah. Dari mereka
balita, saya berusaha untuk mereka
mengenal hijab, sedangkan yang laki-laki, kebetulan hanya satu, saya juga
protektif, tapi degnna cara terus mengingatkan, bahwa dia adalah calon imam untuk
dirinya, saudara perempuannya dan ibunya. Terkadang sikap protektif saya itu
agak berlebih, terutama soal tontonan, hp/medsos, dan juga pergaulan,
sampai-sampai anak-anak saya harus lapor ke saya, nama teman-temanya, orang
tuanya bahkan kalau ada hp ortunya saya minta untuk saya jadikan teman supaya
bisa dimonitor. Apakah ini yang namanya cara mendidik sebagai tawanan, karena yang
saya baca hampir menyerupai walaupun saya agak lebih sedkit .....he...he, mohon pencerahannya bu Neny, jazakillah
P16: Oh ya cara penerimaan
mereka berempat juga berbeda-beda, terkadang harus ada tangisan, ngambek masuk
kamar atau nggka mau makan karena protes, tapi alhamdulillah walaupun kami,
terutama saya terkadang harus ikut nangis menyendiri di kamar sebentar karena harus
menahan marah atau ada rasa hopeless, tapi tetap kita yang harus duluan
mengalah , terkadang minta maaf ke mreka supaya cepat masalahnya teratasi.
M : Alhamdulillah, P16 diberi
kemampuan untuk menghadirkan lingkungan yang lebih kondusif, ibarat hidangan,
menunya mewah! Itu tentu sangat dirindukan oleh hampir semua ibu, sehingga
sangat membantu dalam proses mendidik anak-anak. Setiap anak adalah unik,
dengan karakter yang berbeda-beda, walaupun mereka saudara seibu seayah. Jiwa
mereka punya keinginan dan kebebasan menentukan apa yang akan dilakukannya. Di
sinilah orang tua terus belajar, agar semakin bijak, memadukan apa keinginannya
kepada anak, yang diyakini untuk
kebaikan anak, dengan
keinginan anak yang mungkin dianggap kurang baik oleh orang tua. Kita tidak
bisa/ boleh otoriter, tetapi tidak baik juga kalau terlalu permisif, mengikuit
semua mau anak. wallahu 'alam.
P16: Jazakillah Bu Neny, atas
pencerahannya, terus terang untuk mengatasi stress yang hampir selalu muncul, saya bilang sama diri sendiri, bahwa sabar itu tidak
terbatas, belajar memahami keluarga itu tidak ada akhir, terkadang solusi belum
tercapai, ya saya mengadu sambil sesenggukan kepada Allah, kemudian manjakan
sebentar diri ini, saya kalau kesal, di kamar mandi itu bisa lama, kemudian
makan sesuatu yang dingin dan manis, kaya juice atau ice cream coklat (menurut
beberapa sumber manis dan coklat bisa membuat rasa bahagia dan gembira) he....he , untuk ke anak yang agak sulit,
saya terkadang keras tapi kadang saya biarkan dulu, bahkan ambil tindakan diam,
jadi mereka yang suka salah tingkah, baru ajak bicara dari hati ke hati,
biasanya saat mau tidur dipeluk atau dipijit, mengalir deh cerita mereka sampai
minta maaf dan tertidur, memang perlu kesediaan waktu untuk itu, ini sekedar
pengalaman mungkin bisa jadi sedikit manfaat untuk bunda-bunda yang lain.
M: Terima
kasih sharingnya, sangat bermanfaat, terutama yang belum atau baru diamanahi 1
anak.
Tuesday, February 13, 2018
Baby Blues, Penyebab dan Cara Mengatasinya
Baby Blues, penyebab dan cara mengatasinya merupakan tema yang dipilih untuk mengawali diskusi di grup WA Tunas Parenting 7-1.
Di grup ini, tema diskusi dipilih yang sesuai dengan tujuan dibentuknya grup, yaitu sharing tentang perawatan dan pendidikan anak usia 0 sampai 7 tahun dan hal-hal yang terkait dengannya.
Saya,sebagai moderator (selanjutnya disebut dengan inisial M/Mi) mengawali dengan sedikit pemaparan tentang baby blues. Kemudian ditanggapi oleh peserta, dalam tulisan ini tanpa disebutkan namanya satu persatu, hanya dengan inisial P.
***
M: Tema diskusi kita hari ini, Baby Blues, penyebab dan cara
mengatasinya. Mengapa tema ini perlu diangkat? Karena kondisi emosi seorang ibu akan sangat berpengaruh
pada bayi yang baru lahir.
Baby blues adalah kondisi gangguan mood yang dialami ibu
setelah melahirkan bayi. Baby blues merupakan bentuk yang lebih ringan dari
depresi setelah melahirkan. Kondisi ini dianggap normal dan cukup sering
terjadi, yaitu 70 – 80% ibu setelah melahirkan.
Gejala
*umumnya timbul pada minggu pertama setelah melahirkan.
*kecemasan yang tidak beralasan,
*gangguan konsentrasi
*lelah, sedih, gelisah, sensitif, sulit tidur, kesepian, dan
kurang sabar.
*perubahan mood yang cepat dari sedih menjadi senang.
Seiring waktu, gejala akan berkurang dan umumnya akan
menghilang setelah 7-14 hari. Gejala baby blues ringan dan tidak mengganggu
kehidupan sehari – hari.
Jika gejala sangat berat atau menetap setelah 1 bulan
kelahiran bayi, perlu dipertimbangkan kemungkinan depresi post-natal.
Gejala denderita depresi post-natal:
*panic
*rasa lelah yang hebat
*tidak napsu makan
*gangguan ingatan dan konsentrasi
*tidak dapat menikmati kegiatan yang menyenangkan
*tidak tertarik pada bayi sendiri, kecemasan berlebihan
*tidak dapat berhenti menangis.
Penyebab : belum diketahui dengan pasti, diperkirakan
berhubungan dengan perubahan hormon ibu dan perubahan lingkungan.
Sebagian kita mungkin pernah mengalaminya, diharapkan
bersedia berbagi di sini, semoga bermanfaat untuk yang belum pernah melahirkan
atau yang masih akan melahirkan.
Fokus kita pada gejala yang dialami dan bagaimana upaya yang
sudah dilakukan untuk mengatasi serta sejauh mana hasilnya.
P1: Saya gak sadar pas mengalami babyblues...setelah berlalu dan pikiran tenang baru menyadari....oooh..kemaren itu saya sedih dan begini begitu..kena babyblues ya.
M: Apa yang P1, dan apa yang dilakukan untuk mengatasinya?
P1: Lupa lupa inget, ... rasanya cemas, kesel dan marah sama suami,sensitif suka sediiiiiih banget sampe nangis sendiri gak ada sebab.
M: Kadang kita lucu, ya? Nangis nggak ada sebab. Kasian suami...bingung mungkin, beliau.
P1: Naaah..suami jauh, Mi ...seminggu ngelahirin dah di tinggal. Alhamdulillahnya, nggak lama hilang sendiri saat merasa badan sudah fit dan bisa melakukan apa saja, jadi hilang melow melow dramanya.
P2: Saya pribadi sudah berjumpa dengan beberapa wanita yg mengalami baby blues. Dari yang saya amati, baby blues dapat dihindari dengan cara:
-maksimalkan kesiapan calon orang tua untuk kelahiran
bayi dan cara mengasuh bayi yang benar
-dukungan orang sekitar untuk ibu (suami, orang tua,
mertua dll)
-support dari tenaga kesehatan untuk memberikan info
seputar perawatan bayi baru lahir.
Dengan lingkungan yang nyaman dan orang-orang yang mengerti,
menurut saya, psikologis ibu bisa lebih tenang.
M: Yang P2 alami sendiri, bagaimana?
P2: Walaupun profesi saya bidan, tapi setelah melahirkan
anak pertama, saya juga suka menangis dan panik tidak jelas. Takut bayi saya meninggal, lah (kalau saya tinggal
mandi, nanti kalau dia dikerubungi semut bagaimana? Kalau saya nyusuin sambil tduran,
kalau dia ketimpah badan saya trus nggak bisa nafas gmn?), takut suami
tidak suka dengan perubahan tubuh saya lah, tapi dengan suami yang member perhatian (saya disuapin
makan, ditanyain mau apa, dibantuin ngurusin bayi nya). Trus bidan yang menolong persalinan saya juga
berkunjung kerumah beberapa kali, jadi bisa nanya2, ini normal nggak? Bayi begini
normal nggak? Jadi biar lebih tenang. Juga ngobrol-ngobrol tukar pikiran dengan kakak, saudara
atau tetangga yang punya bayi/anak juga membantu. Intinya tetap bersosialisasi, jangan biarkan ibu yang
baru melahirkan merasa sendirian. Supaya suami nggak bingung, dari saat hamil, suami kita
cekokin tentang info seputar kehamilan, persalinan, dan babyblues, kan sekarang bisa
kirim link web lewat wa, dsb. Jadi suami juga tau apa yang harus dilakukan kalau istri
menunjukkan gejala-gejala babyblues.
M: Memiliki banyak pengetahuannya saja masih terkena juga, ya P2, eh...ada hubungannya nggak, ya, dengan
tingkat pemahaman?
P2: Mungkin bedanya begini, Mi, kalau yang tau apa itu
babyblues tapi tetap mengalami (karena perubahan sistem hormon dsb) mungkin akan menyadari dan bisa
mengontrol atau mengalihkan, tapi yang nggak tau apa itu babyblues, ya akan merasa bingung
dengan perasaan-perasaan itu ,ya Mi, jadinya dia kesel sendiri.
P3: Umi kalau setelah melahirkan merasa gak PD , merasa
suami tidak tertarik lagi , merasa cemas suami akan berpaling karna setelah
melahirkan dasteran terus, mau sisiran ngurus badan aja nggak sempat apa itu di sebut baby blues juga mi 😁?
M: P3, cocokkan
dengan gejala di atas, masih baby blues atau depresi pasca melahirkan,
atau...cinta mati sama suami? #bercanda
P3: Kayaknya cinta mati, Mi, he he he.
P4: Saya juga mengalami baby blues, saya kadang merasa
sedih, kecewa tapi tiba-tiba merasa bahagia melihat tingkah anak, ini disebabkan karena perubahan situasi, ditambah suami bekerja seharian dan saya juga baru pindah ke Bandarlampung, jadi bisa ditebak kalau saya kurang komunikasi karena nggak punya teman 😁
untuk diajak diskusi atau sekadar ngobrol-ngobrol.
M: Berapa lama dan bagaimana solusinya?
P4: Kira-kira sebulan. Cara saya mengatasinya, dengan selalu istighfar, perbanyak dzikir dan membaca buku-buku, artikel mengenai anak, untuk memperluas wawasan.
M: Wew! lumayan lama, ya? Gimana pengaruhnya ke bayi?
Keliatan nggak bedanya saat ibu baby blues dengan saat ibu bahagia?
P4: Iya
mi, kayaknya nggak ngaruh ke anak, karena dia nggak rewel, perkembangannya baik,
bisa dibilang lebih dari anak seusianya, waktu itu umur seminggu aja udah bisa
berdiri tegak kepalanya, saya yakin ini karena pertolongn Allah karena saya usahakan
selalu berfikir positif meskipun sedang nangis.
M: sangat mungkin, karena melihat cara mengatasinya, berarti tidak terlalu berpengaruh pada
kondisi emosi ibu, yang sebenarnya perlu diperhatikan pengaruhnya pada bayi,
kalau sudah pada tahap depresi pasca melahirkan.
P4: Iya, Mi, kalau menurut saya, memang cara kita menyikapi
itu yang sangat menentukan.
P5: Tingkatan depresi yang paling tinggi yang pernah
terjadi pasca melahirkan itu seperti apa ya, Mi?
M: Pernah dengar seorang ibu membunuh anaknya?
P5: Ya mi, pernah. Sampai separah itu, kah?
M: Kalau
sudah berkaitan dengan tekanan emosi, apapun bisa dilakukan manusia. Itu
sebabnya, kecerdasan emosi lebih menentukan kesuksesan hidup dibandingkan
kecerdasan intelektual, pendidikan modern telah mengakui hal itu, dan salah
satu penyebab kehancuran akhlak adalah kecerdasan emosi yang rendah
P6: Alhamdulillah, kalau pengalaman pribadi seingat saya, setelah melahirkan, tidak mengalami babyblues. Padahal saat melahirkan anak pertama usia saya masih
sangat muda, 18 tahun. Tapi, ipar dan kakak saya pernah mengalami baby
blues. Kalau saya perhatikan, penyebabnya mungkin 'kurang berdamai' dengan hati dan
kenyataan.
M: Masyaallah, sangat jarang orang terhindar dari baby
blues P6
, bisa jadi yang bersangkutan tidak menganggapnya sebagai baby blues, tapi kalau melihat
gejalanya, rasanya sulit terhindar, karena kondisi hati manusia tidak ada yang
konsisten selalu bahagia, bisa dipastikan ada saatnya menurun😊
P6: Mungkin benar Mi, tidak mungkin terhindar dari baby
blues. Tapi mungkin, kembali lagi pada 'kesadaran' kalau saya dulu berfikirnya 'Ini kan
anak saya yang memang sudah saya rencanakan kehadirannya, jadi apapun konsekwensi, resiko
dan kesusahannya harus saya hadapi' saat emosi mulai bermain.
M: Ya,
kedewsaan berfikir sangat membantu segera menetralisir kondisi emosi kita.
P7: Saya mengalaminya ketika lahir anak pertama. Sering
tiba-tiba merasa sedih, lihat anak nangis juga ikut nangis. Apalagi orang tua pengen
ngasih susu formula kalau bayi nangis, katanya masih lapar, ASI-nya kurang. Saya
mencoba bertahan nggak ngasih susu formula, tapi meelihat anak nangis akhirnya saya menyerah. Bayi diberi sufor dansaya nangis. Alhamdulillah
suami & oran tua perhatian banget. Ibu sering mengingatkan kalau saya sedih bayi jadi rewel & ASI sulit keluar. Saya baru tau kalau itu baby blues setelah anak
mulai besar & sering baca tentang anak & ibu. Suami sering peluk saya ketika saya nangis & mau
mendengar semua keluhan saya. Setelah saya tenang baru cari solusi. Kata suami yang
penting tenang dulu.
M: terkadang pemahaman yg kita miliki sebelumnya
menjadi beban saat menemui fakta yang tidak sesuai teori, padahal kalau melihat
ibu-ibu lain yang sederhana, pemahaman tidak sebanyak kita, mereka enjoy2 aja,
tapi ya itu...sering salah menyikapi bayinya. Alhamdulillah, P7 mendapatkan respon lingkungan yang mendukung, tapi tidak semua istri seberuntung P7, itu sebabnya, sebagai perempuan kita harus siap mandiri menghadapi kondisi apapun, emosi tetap terkendali.
P8: Pengalaman saya 15 bulan yang lalu, setelah hadir baby yang
sudah lama saya minta pada Allah, selama 40hari pertama bayi saya tiap setelah magrib
sampai jam 12 malam nggak mau tidur di kasur maunya dalam gendongan saya...ini yang baby
blues anaknya atau umminya, ya? Efeknya, sejak umur 9 bulan babynya nggak mau jauh dari uminya, geser sedikit ada perlu pasti nangis, maunya ikut ke mana pergi bahkan sampai
ikut ke kamar mandi. Normalkah perkembangan bayinya?
M: Umi
pernah mengalami yang seperti itu, bungsu yang sekarang umur 8 tahun. Sepertinya itu
bukan baby blues, tapi ada masalah pada bayi, walaupun sampai sekarang belum
tau penyebabnya 😀, anggap saja itu ujian untuk Umi. tanpa tau penyebabnya, terlewati juga ya, he he. Insyaallah masih normal, tinggal bagaimana kita menyesuaikan diri dengan situasi seperti itu dan
mengupayakan kemandiriannya
P9: Sangat betul Umi, tapi tak kalah pentingnya peran dan
kasih sayang suami dalam mengasuh dan mengawal anak mnjd generasi yang baik. Mohon maaf, saya mempunyai 4
orang anak, tapi Alhamdulillah anak saya tumbuh dengan kemandiriiannya, sekarang
pintar-pintarnya kita dalam mendidik anak, dan perlu diingat jangan terlalu memanjakan
anak, karena ke depannya kita yang repot.
M: Betul sekali, , anak adalah amanah untuk ayah dan ibunya, itu
sebabnya, komujikasi sehat dan efektif harus terus diupayakan. Orang tua harus terus belajar dan melatih diri untuk
bisa mendidik anak-anaknya menjadi manusia mandiri tanpa kekurangan kasih sayang.
P10: Saya 2 kali
melahirkan selalu mengalami baby blues. Perasaannya seperti sedih dan pilu setiap
kali menyusui anak. Baby blues saya disebabkan oleh :
1) kelelahan, pola istirahat yg berubah, karena
begadang menyusui anak.
2) kurangnya dukungan dari suami n keluarga.
Cara mengatasinya :
1) Selalu istighfar setiap perasan saya naik turun
2) Menghadirkan orang2 terdekat
3) Menjelaskan keadaan sy bahwa sy mengalami baby
blues
4) Tidak menyendiri dikamar
5) Selalu berfikir positif
Dalam hal ini saya setuju dengan Umi, kesiapan mental & kecerdasan emosi, kuncinya😊
P11: Saya memiliki 3 anak. Waktu anak pertama, saya mngalami baby blues sampai ketingkat
stress. Waktu itu saya belum memahami apa itu baby blues,rasa sedih,kesal,marah, tampa ada sebab ditambah satu kondisi yang tidak menyenangkan. Waktu itu ada mertua
yang banyak mengatur dengan sugesti pemahamn orang-orang zaman dulu,suami kurang
mendukung saat itu karena belum paham juga apa itu baby blues, sampai saya memukul bayi
saya karna stress & marah. ASI tidak
keluar, saya menanggis terus-terusan. Ada rasa penyesalan
seperti ibu yang tidak berguna saat itu, si bayi selalu menggis bahkan
sampai 1 bulan kemudian bayi saya tidak naik berat badany, itu hal yang sangat
menyakitkan &menyedihkan hati. Solusinya saat itu mendekatkan diri dengan banyak
berdzikir dan berucap doa, agar menstabilkan emosi. Setelah saya pahami, ternyta kurangnya ilmu
pengetahuan, dan sebaiknya ruhiyah kita pada saat hamil harus benar-benar ditingkat
terbaik karena ruhiyah yang baik sebelum melahirkan menstabilkan omosi ,mampu tenang dalam segala situasi & yang pasti sangat mensyukuri karunia Allah yang maha indah, penyejuk hati, si buah hati, karena Allah bersama selama kehamilan😍& allah bersama ketika melahirkan.
M: Belajar
dari pengalaman, diri sendiri di masa lalu dan orang lain, ada satu kesimpulan
yang bisa kita sepakati, bahwasanya, dengan pemahaman, kita akan lebih mudah
menemukan solusi. Sebagai ibu, kita tidak boleh berhenti untuk terus belajar.
Khawatir menyesal, saat anak-anak sudah besar, kita baru menyadari bahwa banyak
kesempatan terlewatkan karena ketidak tahuan. Ada kesempatan yang tidak akan datang dua kali,
misalkan tahapan perkembangan tertentu. Seharusnya kita bisa melakukan atau
menstimulasi tahap perkembangan tertentu, tapi karena tidak paham ilmunya,
kesempatan itu lewat, anak tidak mendapatkan haknya.
P12: Kalau menurut saya, kematangan saat usia perkawinan akan mnentukan apakah babyblues akan terjadi atau tidak, sebab di saat mental kita siap, kita insaaallah akan siap
segala sesuatunya.Memang tak mudah mngurus anak, tapi kita harus bersyukur
atas segala rejeki dari Yang Maha Kuasa, sebab masih ada diantra kita yang belum diberi
kepercayaan untuk dititipkan buah hati. Saat ini usia anak saya yang besar sudah mau
5 tahun, saya kasih dia perjanjian, kalau saya sedang marah ke dia, tolong diingatkan
(sebab biasanya kalau ibu ibu sudah marah pasti jelek banget dah, pake mata mlotot trus
mulut komat kamit heee) dan benar saja terjadi
saat harus mngurus adiknya yang msih kecil, belum lagi kerjaan yang lain, kadang
suka kilaf marah dengan anak yang pertama, tapi karena sudah perjanjian, akhirnya anak
saya mngingatkan "Tuh, Ibu kalau marah cantik, loh" kata dia, sebab kalau anak
saya marah, saya juga bilng gitu heeee, pasti ngagk jadi marah deh!
M: Maksud P12 dengan kematangan saat usia
perkawinan, apa ya? Usia saat menikah atau berapa lama usia pernikahan?
P12: Bisa jadi keduanya, saya menikah umur 29 tahun, kini sudah 6 tahun pernikahan.
M: Sepakat
nggak dengan quote yang mengatakan, tua itu pasti, dewasa belum tentu? Ini
jadi motivasi orang tua, mendidik anak mandiri sedini mungkin, karena
kemandirian signifikan dengan kedewasaan berfikir.
P13: Jadi
pengen ikutan curhat. Ketika melahirkan anak pertama, alhamdulillah nggak kena
baby blues tapi saya kena infeksi saluran kemih. Sebelum diketahui sakit apa,
saya sempat sedih karena bidan di rumah sakit dan bidan yang masih saudara menganggap saya hanya manja,
karena saya bersalin normal meski diinduksi, padahal waktu itu pasca
melahirkan, saya merasakan sakit luar biasa. Saya waktu itu nggak langsung ke
dokter spesialis, ke beberapa bidan saja. Yang semakin membuat sedih saya
kesulitan memberikan ASI karena badan saya bengkak dan ASI sedikit keluar.
Sampai setelah 10 hari kemudian saya di usg oleh dokter, baru ketahuan masalah
saya.
M: Kalau
kita mau urai satu-satu permasalahan yang sering ditemui oleh ibu pasca melahirkan,
tentu sangat banyak dan bermanfaat bagi orang lain, tapi ada yang menganggapnya
itu hal hiasa, wajar dan tidak perlu dibahas. Padahal, saat salah penanganan,
bisa saja berakibat fatal. Trims curhatnya, P13.
P14: Alhamdulillah, 10 tahun usia pernikahan, saya dikaruniai 3putri, tentu saya juga mengalami sindrom baby blues ini, apalagi dulu pas putri pertama. Trus kelahiran putri ke 2, tapi putri ke 3 alhamdulillah, tidak kena sindrom baby blues karena saya sudah belajar
dari putri1&2, sudah cukup tau, lah bagamana caranya, ternyata memang peran suami/ayah dari anak-anak itu dapat mengurangi sindrom itu.
M: Pada umumnya baby blues menyerang pada kelahiran peetama, apalagi yang jaraknya
tidak terlalu jauh dengan pernikahan. Di satu sisi suami istri belum sempurna dalam
adaptasi, ditambah dengan kehadiran bayi yang
tentu saja akan menyita waktu dan perhatian. Pengalaman pertama melahirkan saja
sudah luar biasa bagi psikologis istri, ditambah dengan perubahan status sebagai seorang ibu dengan segala konskuensinya, jadi wajar jika terjadi perubahan emosi yang kadang sampai tidak terkendali, entah itu sedih berlebihan, merasa tak
berguna atau marah tanpa jelas sebab atau sasarannya.
Untuk
diskusi tema baby blues, boleh ditutup, ya?
Terima
kasih atas partisipasinya, semoga sharing kita bermnfaat untuk diri dan yang
lainnya, yang ikut aktif ataupun yang nyimak. Barokallah.
Tunggu
tema berikutnya, besok, insyaallah.
Saturday, February 10, 2018
Antusiasme Penduduk Medsos terhadap KPPA Tunas
Apakah memang masyarakat kita selalu antusias menyambut sesuatu yang baru?
Baru yang seperti apa? Apakah ini bukti karakter bangsa kita yang terkenal ramah tamah?
Sebenarnya, penilaian penduduk medsos antusias terhadap lahirnya KPPA Tunas, hanya sepihak, bahkan saya pribadi sebagai salah satu foundernya. Hal ini merupakan rasa syukur dan gembira, bahwa yang kami niatkan baik, ada yang menyambutnya di awal kemunculan.
Dari mana saya menilainya?
Sederhana, hanya dari jumlah bergabungnya pengguna WA bergabung ke grup-grup yang kami buat.
Setelah saya share undangan untuk bergabung dalam 6 grup WA sesuai kebutuhan, dengan waktu tunggu seminggu, ternyata baru 12 jam pertama, satu grup sudah memenuhi kuota, yaitu 257 anggota.
Disusul kemudian, satu grup berikutnya. Sedang 4 grup sedang menunggu penuhnya kuota atau sampai tanggal 11 Februari 2018, program segera dimulai.
Hanya saja... ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang dibuat, perihal pemilihan grup. Hmm, apakah pemilihan redaksi dari admin yang agak sulit dipahami atau kurang teliti dalam membaca, atau punya pemikiran dan alasan sendiri untuk gabung di grup yang tidak sesuai?
Beberapa yang sudah terdeteksi dalam dua hari ini, yang kurang sesuai dengan ketentuan berikut, juga kami cantumkan di tulisan sebelumnya.
Ketidak sesuaian yang sudah ditemui:
1. Ada laki-laki yang ikut bergabung, sedangkan tujuan undangan terbuka itu adalah kepada sahabat perempuan yang berusia minimal 14 tahun.
Beberapa alasan yang dikemukakan:
- Kurang memperhatikan undangan secara keseluruhan
- Mendidik anak bukan hanya urusan perempuan (ibu) tetapi ayahnya juga (di grup parenting)
2. Ada peserta masuk di grup yang tidak sesuai ketentuan, misalnya:
- Seorang menantu masuk grup Tunas Mertua Bijak, alasannya agar dapat ilmu bagaimana menjadi mertua bijak.
- Seorang ibu muda masuk grup Tunas Remaja Cemerlang, alasannya karena mempunyai adik remaja.
- Seorang remaja masuk grup parenting batuta, karena gurunya memberi link yang itu.
Kami gembira, karena itu bukti adanya semangat belajar yang tinggi, terutama para orang tua. Setelah banyak laporan, ada yang tidak bisa masuk karena penuh, maka kami buatkan grup tambahan untuk menampungnya.
Semoga ini bukan antusiasme di awal semata, tetapi menjadi sebuah grup yang anggotanya bisa sharing pengalaman dalam berkeluarga dan mendidik anak, karena pengalaman tetap menjadi guru yang terbaik.
Seorang admin mengelola 7 grup sekaligus, tentu butuh waktu dan pemikiran yang lumayan, itu sebabnya dibentuk pengelola grup yang terdiri dari 3-6 untuk membantu mengelola keberlangsungan aktivitas grup, sebagai moderator dan notulen yang bertugas secara bergiliran.
Sebagai grup wa komunitas yang termasuk dalam kegiatan lainnya, maka diupayakan aktivitas di grup tercover dengan baik, sehingga jejaknya bisa terekam di fp Tunas dan blog, sebagai catatan yang bisa dibuka-buka kemudian hari.
Baru yang seperti apa? Apakah ini bukti karakter bangsa kita yang terkenal ramah tamah?
Sebenarnya, penilaian penduduk medsos antusias terhadap lahirnya KPPA Tunas, hanya sepihak, bahkan saya pribadi sebagai salah satu foundernya. Hal ini merupakan rasa syukur dan gembira, bahwa yang kami niatkan baik, ada yang menyambutnya di awal kemunculan.
Dari mana saya menilainya?
Sederhana, hanya dari jumlah bergabungnya pengguna WA bergabung ke grup-grup yang kami buat.
Setelah saya share undangan untuk bergabung dalam 6 grup WA sesuai kebutuhan, dengan waktu tunggu seminggu, ternyata baru 12 jam pertama, satu grup sudah memenuhi kuota, yaitu 257 anggota.
Disusul kemudian, satu grup berikutnya. Sedang 4 grup sedang menunggu penuhnya kuota atau sampai tanggal 11 Februari 2018, program segera dimulai.
Hanya saja... ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan ketentuan yang dibuat, perihal pemilihan grup. Hmm, apakah pemilihan redaksi dari admin yang agak sulit dipahami atau kurang teliti dalam membaca, atau punya pemikiran dan alasan sendiri untuk gabung di grup yang tidak sesuai?
Beberapa yang sudah terdeteksi dalam dua hari ini, yang kurang sesuai dengan ketentuan berikut, juga kami cantumkan di tulisan sebelumnya.
Assalamu'alaikum wr.wb.Alhamdulillah, atas izin Allah, pada tanggal 19 Desember 2017, tercetus ide untuk membuat sebuah komunitas yang peduli pada kondisi perempuan dan anak, yang jika dilihat dari beberapa sisi, cukup memprihatinkan.Di awal kiprah, kami konsen pada masalah pendidikan perempuan dan akhlak anak, dengan asumsi, jika kaum perempuan cerdas, bijak dan bahagia, diharapkan akan lebih kondusif dalam mendidik anak-anaknya. Perempuan berdaya, generasi jaya.Kepada sahabat perempuan yang berusia minimal 14 tahun, kami mengundang untuk bergabung ke grup wa Tunas sesuai dengan spesifikasi dan kebutuhan.Dalam grup, kita akan berdiskusi dan sharing pengalaman dengan tema yang sesuai kebutuhan, yang dipimpin oleh admin. Untuk mekanismenya, akan disampaikan dalam grup wa.Bagaimana cara gabungnya?Klik salah satu atau lebih, grup yang diinginkan. Boleh dishare ke grup-grup lain untuk mengajak teman-teman lainnya.Kami menunggu sampai tanggal 11 Februari pukul 21.00, kemudian program di grup segera dimulai, insyaallah.Adapun, grup yang kami buat adalah:1. Grup Tunas Parenting 7-1Untuk sahabat yang memiliki anak atau murid usia 0 sd 7 tahun.https://chat.whatsapp.com/EZ95PTV9bn99KsWBDv8mks2. Grup Tunas Parenting 7-2Untuk sahabat yang memiliki anak atau murid usia 8-14 tahunhttps://chat.whatsapp.com/3XaxPCwXFc68yHlsMN9b3x3. Grup Tunas Parenting 7-3Untuk sahabat yang memiliki anak atau murid usia 15-21 tahun atau lebih.https://chat.whatsapp.com/EzeNpISiDgd9d6hjRF2cWL4. Grup Tunas Remaja CemerlangUntuk sahabat yang berusia 14 -20 tahunhttps://chat.whatsapp.com/8XWGyG5Efc737ljJ35WKUq5. Grup Tunas Mantu IdamanUntuk sahabat yang berstatus menantj atau calon mantuhttps://chat.whatsapp.com/CeIhlSmi5qLLC3RCocZFJV6. Grup Tunas Mertua BijakUntuk sahabat yang memiliki menantu atau calon mantuhttps://chat.whatsapp.com/4FhxZmEZKnMBWtMoImnVqQTerimakasih atas partisipasinya, semoga kita bisa bersinergi memberdayakan perempuan, menjayakan generasi.Wassalamu'alaikum wr.wbFounder KPPA Tunas(Neny Suswati, Sulistiani, Dian Eka)
Ketidak sesuaian yang sudah ditemui:
1. Ada laki-laki yang ikut bergabung, sedangkan tujuan undangan terbuka itu adalah kepada sahabat perempuan yang berusia minimal 14 tahun.
Beberapa alasan yang dikemukakan:
- Kurang memperhatikan undangan secara keseluruhan
- Mendidik anak bukan hanya urusan perempuan (ibu) tetapi ayahnya juga (di grup parenting)
2. Ada peserta masuk di grup yang tidak sesuai ketentuan, misalnya:
- Seorang menantu masuk grup Tunas Mertua Bijak, alasannya agar dapat ilmu bagaimana menjadi mertua bijak.
- Seorang ibu muda masuk grup Tunas Remaja Cemerlang, alasannya karena mempunyai adik remaja.
- Seorang remaja masuk grup parenting batuta, karena gurunya memberi link yang itu.
Kami gembira, karena itu bukti adanya semangat belajar yang tinggi, terutama para orang tua. Setelah banyak laporan, ada yang tidak bisa masuk karena penuh, maka kami buatkan grup tambahan untuk menampungnya.
Semoga ini bukan antusiasme di awal semata, tetapi menjadi sebuah grup yang anggotanya bisa sharing pengalaman dalam berkeluarga dan mendidik anak, karena pengalaman tetap menjadi guru yang terbaik.
Seorang admin mengelola 7 grup sekaligus, tentu butuh waktu dan pemikiran yang lumayan, itu sebabnya dibentuk pengelola grup yang terdiri dari 3-6 untuk membantu mengelola keberlangsungan aktivitas grup, sebagai moderator dan notulen yang bertugas secara bergiliran.
Sebagai grup wa komunitas yang termasuk dalam kegiatan lainnya, maka diupayakan aktivitas di grup tercover dengan baik, sehingga jejaknya bisa terekam di fp Tunas dan blog, sebagai catatan yang bisa dibuka-buka kemudian hari.
Subscribe to:
Posts (Atom)